Penjualan Ritel Loyo, Fix Daya Beli Orang RI Turun!

Setelah Indeks Keyakinan Konsumen dan Purchasing Managers’ Index (PMI) menunjukkan perbaikan, kini rilis data penjualan ritel menunjukkan hal sebaliknya. Penjualan ritel pada November 2019 tumbuh melambat, bahkan diperkirakan terkontraksi alias turun pada bulan berikutnya.

Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel pada November 2019 tumbuh 1,3% year-on-year (YoY). Meski tumbuh, tetapi melambat cukup signifikan dibandingkan bulan sebelumnya.

“Penjualan eceran tetap tumbuh positif pada November 2019, meskipun melambat dibandingkan penjualan pada bulan sebelumnya. Hal ini tercermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) November 2019 yang tumbuh 1,3% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan IPR Oktober 2019 sebesar 3,6% (yoy),” sebut keterangan tertulis BI yang dirilis Jumat (10/1/2019).

Bahkan BI memperkirakan penjualan ritel bakal lebih buruk pada Desember 2019 yaitu minus 0,2% YoY. Kalau ini terjadi, maka menjadi kontraksi pertama sejak Juni 2019.

Performa penjualan ritel yang marjinal pada November (dan kemungkinan Desember) bisa jadi disebabkan oleh faktor basis tahunan. Pada November dan Desember 2018, penjualan ritel tumbuh lumayan meyakinkan yaitu masing-masing 3,4% YoY dan 7,7% YoY.

Namun, rilis data ini bisa juga dibaca dari sisi lain yaitu bukti pelemahan konsumsi atau daya beli. Sebelumnya, kelesuan ini telah tertangkap di data inflasi dan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Sudah Ada Tanda Kelesuan Daya Beli

Sepanjang 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi sebesar 2,72% YoY. Ini adalah laju paling lambat sejak 1999. Inflasi rendah bisa dilihat dari dua kacamata.

Pertama, keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan harga terutama kebutuhan pokok. Namun untuk yang satu ini, sepertinya pemerintah tidak bisa melakukan klaim. Pasalnya, inflasi kelompok barang dengan harga bergejolak (volatile goods, yang sebagian besar adalah bahan pangan) tercatat 4,3% pada 2019. Lebih tinggi ketimbang pencapaian 2018 yang sebesar 3,39%.

Sudut pandang kedua adalah inflasi rendah adalah buah dari daya beli yang bermasalah. Untuk melihat daya beli, indikator yang kerap digunakan adalah inflasi inti.

Sepanjang 2019, laju inflasi inti pada 2019 tercatat 3,02%. Sedikit melambat dibandingkan 2018 yakni 3,07%.

Inflasi inti adalah kelompok barang dan jasa yang harganya susah naik-turun atau persisten. Ketika inflasi inti terakselerasi, tandanya konsumen masih mau membayar lebih tinggi untuk barang dan jasa yang sebenarnya harganya susah naik. Ini adalah cerminan daya beli yang sehat.

Namun pada 2019, terlihat ada sedikit perlambatan inflasi inti. Artinya, harus diakui bahwa konsumsi rumah tangga sedang tidak baik-baik saja.

Kemudian ada data penerimaan PPN. Sepanjang 2019, penerimaan PPN tercatat Rp 532,9 triliun atau turun 0,8% dibandingkan 2018. Dari seluruh jenis pajak, hanya PPN dan Pajak Penghasilan (PPH) Migas yang mengalami kontraksi.

PPN adalah pajak yang dibayarkan atas segala transaksi dengan tarif 10%. Penurunan setoran PPN menggambarkan bahwa transaksi di perekonomian nasional memang berkurang. Ini artinya konsumsi masyarakat sedang lesu.

Oleh karena itu, perlambatan penjualan ritel November (dan risiko kontraksi pada Desember) seakan memberi konfirmasi bahwa rumah tangga menahan atau bahkan mengurangi konsumsi. Jadi, Indonesia tidak boleh terlena.

 

 

 

Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : jadimandiri.org

 

 

 

[social_warfare
buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *