BI: Kita Harus Terbiasa Hadapi Rupiah yang Naik Turun

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah di perdagangan kemarin pada pasar spot.

Pada Senin (26/8/2019), US$ 1 dihargai Rp 14.235 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,18% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.

Saat pembukaan pasar, rupiah melemah 0,14%. Kemudian rupiah semakin melemah hingga depresiasinya nyaris menyentuh 0,4%.

Namun jika dibandingkan dengan mata uang negara tetangga lainnya, rupiah bergerak cenderung stabil. Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Nanang Hendarsah seperti dikutip, Selasa (27/8/2019).

“Sebetulnya Rupiah hari ini bergerak relatif lebih stabil dibandingkan mata uang Emerging Market lainnya, yaitu hanya melemah 0,20% dari Rp 14.210/US$ pembukaan ke level penutupan di Rp 14.235/US$, dibandingkan mata uang lainnya,” kata Nanang.

Bahkan secara Year to date 2019 Rupiah masih menguat 1,03%, sedangkan hampir seluruh Emerging Market secara Year to Date sudah melemah.

“Kita harus menjadi lebih terbiasa dengan fluktuasi nilai tukar seperti ini karena memang kondisi globalnya semakin tidak pasti. Apalagi perang dagang AS-China masuk ke fase ‘full-blown and prolong’ yang membuat kita harus menjadi terbiasa dengan volatilitas harian,” tutur Nanang.

“Yang penting adalah volatilitasnya terkelola sehingga tidak menimbulkan kepanikan di pasar dan ketidakpastian bagi pelaku ekonomi.”

Bank Indonesia, sambung Nanang, sejak mengantisipasi pelemahan Rupiah dengan masuk ke pasar spot dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) sejak pembukaan pasar serta akan masuk ke pasar obligasi bila terjadi pelepasan yang Surat Berharga Negara (SBN) yang dalam jumlah besar oleh investor asing.

“Langkah antisipasi oleh Bank Indonesia didasarkan pada monitoring dari waktu ke waktu secara cermat dinamika pasar keuangan global, termasuk ketika di akhir pekan China di luar dugaan mengumumkan pengenaan tarif terhadap produk impor AS (crude oil dan kendaraan bermotor) senilai US$ 75miliar mulai 1 Okt 2019,” papar Nanang.

“Serta pengenaan tarif tambahan sebesar 5-10% terhadap 5.078 produk impor lain termasuk produk pertanian seperti kedelai, daging, dan babi serta small aircraft yg berlalu mulai 1 Sep 2019.”

Menurut Nanang, tindakan retaliasi dari China tersebut membuat Presiden Trump langsung merespon agar perusahaan-perusahaan AS segera mencari alternatif lain untuk pengganti bisnis dengan China.

“Memanasnya suhu perang dagang di akhir pekan seolah memupus harapan pasar global yang berharap ada angin segar dari symposium Jackson Hole, dimana menguat ekspektasi bahwa the Fed Chairman, Jerome Powell di Jackson Hole akan memberikan komitmen mengambil langkah yang sudah dinantikan yaitu memangkas suku bunga pada FOMC berikutya.”

“Risk off yang dipicu full blown trade war ini kembali memicu aksi ‘flight to quality’ sehingga yield US Treasury Bond turun tajam ke 1,48% dan mendorong penguatan tajam nilai tukar safe haven seperti JPY dan CHF,” tutup Nanang.

 

 

 

 

 

Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Jitunews

 

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

 

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *