INDEF Revisi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI 2023 Jadi 4,8-4,9 Persen

Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 2023 dari 4,8 persen menjadi 4,9 persen.

Direktur Riset INDEF Berly Martawardaya menyebutkan untuk kuartal III/2023, pihaknya memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan ada di angka 4,8 persen. Untuk inflasi tahun ini diperkirakan berada di level 3 persen dari sebelumnya 5,6 persen.

Kemudian, angka kemiskinan akan berada di level 9,36 persen dari sebelumnya 9,3 persen. Tingkat pengangguran ia perkirakan lebih rendah dibandingkan prediksi awal dari 5,7 persen menjadi 5,3 persen.

Adapun nilai tukar rupiah ia perkirakan berada di level Rp15 ribu per dolar dari sebelumnya diprediksi Rp16 ribu per dolar.

Dalam acara Kajian Tengah Tahun INDEF bertema Menolak Kutukan Deindustrialisasi, Berly mengatakan ekonomi global pada tahun ini cenderung melambat, khususnya negara maju.

Namun, dari sisi lain, harga pangan dan energi akan menurun sehingga tekanan inflasi menjadi rendah.

“Kalau dari analisa pak Chatib Basri, ekonomi Indonesia ini dipengaruhi oleh dua hal. Good policy dan good luck. Good luck berkurang karena ekspor harga komoditas menurun,” jelasnya di Jakarta, Selasa (8/8).

Konsumsi rumah tangga, imbuhnya, masih di atas 5 persen namun pertumbuhan sektor manufaktur cenderung di bawah PDB.

Pada kesempatan itu ia juga menyinggung soal sektor industri Indonesia terus menurun dan diperparah selama dan setelah pandemi Covid-19.

Jika dibandingkan dengan negara lain seperti China dengan angka pertumbuhan 27,7 persen, Thailand sebesar 27 persen dan Malaysia yang mencapai 23,5 persen, Indonesia cukup tertinggal.

“Dan dari data terakhir, baru rilis kemarin di BPS (Badan Pusat Statistik), baru 18,25 persen, jadi semakin turun,” kata Berly.

Berdasarkan sumber World Bank, jelas Berly, Indonesia masih berada di papan bawah dalam kontribusi manufaktur ekspor dengan 44,92 persen.

Meskipun lebih tinggi dibandingkan dengan Brazil dengan nilai 25,12 persen dan Afrika Selatan dengan 36,05 persen, namun kita masih kalah dari India dengan kontribusinya sebesar 68,07 persen, Malaysia sebesar 70,28 persen, Thailand sebesar 74,59 persen, Vietnam dengan 86,36 persen dan China sebesar 93,55 persen.

“Walaupun kita tertinggi di antara yang trennya menurun, tetapi lebih baik kalau kita bisa masuk, bisa switching ke papan atas,” ungkap Berly.

Padahal, sektor industri merupakan salah satu bidang yang sangat penting karena mampu menyerap angka tenaga kerja yang cukup tinggi.

Bahkan, tenaga kerja yang hanya berpendidikan SD atau SMP sudah mampu didayagunakan dengan pendapatan sama dengan atau diatas Upah Minimum Regional (UMR).

“Dan mendapat jaminan BPJS Kesehatan, BPJS Tenaga kerja, sehingga dia bisa mem-plan, menabung (hingga) bisa menyekolahkan anak,” ujar Berly.

Bahkan, di Asia Timur perkembangan sektor industri manufaktur, khususnya yang berorientasi ekspor, mampu menekan kesenjangan serta meningkatkan pendapatan.

Oleh karenanya, ia menilai jika sektor industri kita semakin tertekan, maka akan sulit masyarakatnya untuk keluar dari tingkat pendapatan menengah di negara maju atau middle income trap.

“Jadi kalau kita mengalami atau terus seperti ini di industrialisasi maka semakin sulit untuk keluar dari middle income trap atau jebakan kelas menengah,” jelas Berly.

 

 

 

 

 

 

Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : detikFinance

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *