Pengangguran di Jepang Naik, Yen Malah Menguat ke Rp 144

Nilai tukar yen Jepang (JPY) menguat melawan rupiah pada perdagangan Selasa (28/4/2020) meski tingkat pengangguran di Jepang mengalami kenaikan.

Pada pukul 10:35 WIB, JPY 1 setara dengan Rp 144, yen menguat 0,88% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Sementara melawan dolar AS, yen melemah tipis 0,07% di 107,29/US$.

Biro Statistik Jepang melaporkan tingkat pengangguran di bulan Maret naik menjadi 2,5% dari sebelumnya 2,4%, dan mencapai level tertinggi dalam satu tahun terakhir.

Meski mengalami kenaikan, tetapi tingkat pengangguran di Negeri Matahari Terbit sangat rendah jika dibandingkan negara-negara maju lainnya, hal tersebut membuat data ini tidak terlalu berpengaruh terhadap kurs yen.

Selain tingkat pengangguran yang naik, jumlah lapangan pekerjaan juga mengalami penurunan hingga ke level terendah sejak September 2016.

Memburuknya pasar tenaga kerja Jepang sesuai prediksi para ekonom, penyebabnya tentu saja pandemi penyakit virus corona (COVID-19) yang membuat roda perekonomian melambat signifikan.

Pada Jumat (17/4/2020) Perdana Menteri Shinzo Abe menetapkan status darurat COVID-19 ke semua prefektur di Jepang. Sebelumnya hanya Tokyo dan 7 prefektur lainnya yang mendapat status tersebut.

Akibatnya aktivitas warga Jepang menjadi menurun, dan roda perekonomian melambat. Maka wajar tingkat pengangguran mengalami peningkatan, dan bulan Maret hanya jadi awal periode pelemahan.

“Pasar tenaga kerja diperkirakan akan memburuk di bulan April, jadi saya pikir ini (data bulan Maret) hanya awal dari pelemahan. Kenaikan sementara (tingkat pengangguran) tidak terelakkan, saya pikir,” kata Atsushi Takeda, kepala ekonom di Itochu Research Institute, sebagaimana dilansir Reuters.

Meski demikian, Takeda mengatakan kondisi pasar tenaga kerja Jepang tidak akan separah Amerika Serikat, yang tingkat penganggurannya diprediksi naik menjadi 4%.

Guna meminimalisir kemerosotan ekonomi akibat COVID-19, bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) menggelontorkan stimulus tambahan kemarin. Saat mengumumkan kebijakan moneter, BOJ mengatakan akan melakukan program pembelian aset (quantitative easing/QE) dengan nilai tak terbatas guna meredam dampak penyebaran penyakit virus corona (Covid-19) ke perekonomian.

Kebijakan tersebut sama dengan bank sentral AS (The Fed) yang diumumkan Maret lalu, melakukan pembelian aset berapa pun yang diperlukan, alias tanpa batas.

Dalam kebijakan sebelumnya, bank sentral pimpinan Haruhiko Kuroda menetapkan nilai QE sebesar 80 triliun yen per tahun. Kemarin, batas tersebut dihilangkan, sehingga diartikan sebagai QE tanpa batas.

Dengan menghapus batas QE 80 triliun yen per tahun, BOJ dikatakan akan lebih mudah saat mulai mengetatkan moneter ketika kondisi ekonomi sudah mulai normal, dan inflasi mendekati target bank sentral pimpinan Haruhiko Kuroda tersebut.

“Bagi BOJ, menghapus batas QE seperti menjatuhkan dua burung dengan satu batu. Karena BoJ dapat meningkatkan pembelian aset saat ini, dan menguranginya jika ingin mengakhiri kebijakan moneter ultra longgar” kata Toru Soehiro, ekonom senior di Mizuho Securities.

Panduan kebijakan moneter bank sentral sangat mempengaruhi pergerakan pasar keuangan, apalagi bank sentral utama dunia seperti BOJ. Program QE cenderung membuat aset-aset berisiko menguat, tetapi ketika bank sentral mengumumkan akan mengurangi jumlah QE, aksi jual akan terjadi dan membuat pasar bergejolak.

Dengan hilangnya batas nilai QE 80 triliun per tahun, ke depannya BoJ tentunya tidak perlu lagi memberikan panduan berapa nilai QE yang akan dikurangi saat mulai menghentikan kebijakan moneter ultra longgar, sehingga meminimalisir gejolak di pasar.

 

 

 

 

Sumber : .cnbcindonesia.com
Gambar : Suara Karya

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *