Hasil Pilpres dan Sentimen Global Bikin Rupiah Stagnan

Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp14.455 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pasar spot Selasa (21/5) pagi. Dengan demikian, rupiah bergerak stagnan dibanding posisi Senin (20/5) yang sama-sama di angka Rp14.455 per dolar AS.

Pagi hari ini, sebagian besar mata uang utama Asia menguat terhadap dolar AS. Dolar Hong Kong menguat 0,01 persen, won Korea Selatan menguat 0,06 persen, dolar Singapura menguat 0,07 persen, baht Thailand sebesar 0,13 persen, dan peso Filipina sebesar 0,24 persen.

Di sisi lain, terdapat mata uang yang melemah seperti yen Jepang sebesar 0,11 persen dan ringgit Malaysia sebesar 0,06 persen. Sementara itu, pergerakan mata uang negara maju terbilang bervariasi, di mana euro melemah 0,01 persen namun poundsterling Inggris menguat 0,03 persen dan dolar Australia menguat 0,18 persen.

Analis Asia Tradepoint Futures Deddy Yusuf Siregar mengatakan pergerakan rupiah hari ini akan didominasi oleh sentimen domestik.

Semalam, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merampungkan hasil rekapitulasi pemilihan umum 2019. Seharusnya, investor sudah tidak lagi memasang sikap menunggu (wait and see) ke dalam negeri. Hanya saja, investor lebih khawatir dengan aksi respons hasil pemilu yang bisa berujung kerusuhan.

Kemudian, sentimen perang dagang juga masih mewarnai pergerakan rupiah kali ini. Apalagi, kini situasinya kian memanas, di mana China terlihat enggan melanjutkan negosiasinya dengan AS karena negara adidaya itu melancarkan kenaikan tarif bahkan sebelum negosiasi menelurkan hasil.

“Rupiah masih tidak menentu, ada tekanan dari domestik dan luar negeri sehingga hari ini rupiah akan bergerak moderat di Rp14.440 hingga Rp14.475 per dolar AS,” jelas Deddy kepada CNNIndonesia.com, Selasa (21/5).

Kemudian, Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan rupiah masih mengalami tekanan seiring memanasnya suhu geopolitik di Timur Tengah yang bisa mempengaruhi kenaikan harga minyak dunia. Jika tren ini berlanjut, maka bisa menjadi alamat jelek buat rupiah. Pasalnya, kenaikan harga akan membuat biaya impor minyak kian mahal.

“Artinya, akan ada tekanan bagi neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, ini bukan berita baik buat rupiah dan aset-aset berbasis mata uang Tanah Air,” jelas Ibrahim.

 

 

 

 

 

Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : The Jakarta Post

 

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *