Neraca Dagang RI Surplus US$2 Miliar pada Februari 2021

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia surplus US$2 miliar secara bulanan pada Februari 2021. Realisasi itu lebih tinggi dari surplus US$1,96 miliar pada Januari 2021, tapi masih lebih rendah dari surplus US$2,34 miliar pada Februari 2020.

Secara total, akumulasi surplus neraca dagang Indonesia mencapai US$3,96 miliar pada Januari-Februari 2021. Nilainya lebih tinggi dari surplus US$1,88 miliar pada Januari-Februari 2020.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan surplus neraca perdagangan terjadi karena nilai ekspor mencapai US$15,27 miliar pada Februari 2021 atau turun 0,19 persen dari US$15,3 miliar pada Januari 2021. Secara tahunan, nilainya naik 8,56 persen dari Februari 2020.

Sedangkan nilai impor mencapai US$13,26 miliar. Nilainya turun 0,49 persen dari US$13,33 miliar pada bulan sebelumnya. Namun secara tahunan masih naik 14,86 persen.

“Ini menggembirakan karena kenaikan ekspor terjadi di pertanian, industri, dan tambang. Impor kita juga tumbuh (secara tahunan), impor bahan penolong juga meningkat,” papar Suhariyanto saat rilis data neraca perdagangan periode Februari 2021, Senin (15/3).

Secara rinci, kinerja ekspor ditopang oleh ekspor minyak dan gas (migas) mencapai US$860 juta miliar atau turun 2,63 persen pada bulan sebelumnya. Penurunan terjadi justru di tengah kenaikan harga minyak.

“Harga ICP (harga minyak mentah Indonesia) Januari 2021 US$53,17 per barel dan Februari 2021 US$60,36 per barel, artinya harga ICP naik 13,52 persen,” ujarnya.

Sementara ekspor nonmigas sebesar US$14,4 miliar atau turun tipis 0,04 persen persen. Perkembangannya dipengaruhi oleh naik turunnya harga komoditas.

“Beberapa komoditas yang naik harganya adalah minyak kelapa sawit, tembaga timah, dan perak. Yang turun, batu bara dan emas,” terangnya.

Total ekspor nonmigas mencapai 94,36 persen dari total ekspor Indonesia pada bulan lalu. Mulai dari ekspor industri pertanian yang turun 8,96 persen menjadi US$310 juta, industri pengolahan naik 1,38 persen menjadi US$12,15 miliar, dan industri pertambangan turun 6,71 persen menjadi US$1,95 miliar.

Kendati turun secara bulanan, ekspor berdasarkan sektor sejatinya tumbuh secara tahunan. Tercatat, industri pertanian naik 3,16 persen, industri pengolahan 9 persen, dan tambang 7,53 persen.

“Khusus industri pengolahan, baik bulanan dan tahunan meningkat, seperti besi baja, kimia dasar organik, kendaraan bermotor, dan logam dasar mulia,” ucapnya.

Berdasarkan kode HS, peningkatan ekspor terjadi di komoditas besi dan baja, bahan bakar mineral, kendaraan dan bagiannya, logam mulia dan perhiasan, serta bahan kimia organik.

“Besi dan baja ini utamanya kita ekspor ke China, Taiwan, dan Turki,” jelasnya.

Sementara penurunan ekspor terjadi di komoditas lemak dan minyak hewan nabati, bijih, terak, dan abu logam, pulp dari kayu, mesin dan peralatan mekanis, dan susu, mentega, telur.

Berdasarkan negara tujuan ekspor, penurunan ekspor terjadi ke India mencapai US$178 uta, China US$96,2 juta, Spanyol US$75,5 juta, Myanmar US$52,8 juta, dan Singapura US$49,7 juta.

“Penurunan ekspor ke India, komoditas utamanya didominasi lemak dan minyak hewan nabati. Lalu juga ada besi baja dan bahan bakar mineral. Ekspor ke Myanmar juga turun, kita tahu apa yang terjadi di Myanmar saat ini,” jelasnya.

Sedangkan peningkatan nilai ekspor nonmigas terjadi ke Taiwan sebesar US$217,4 juta, Amerika Serikat US$186,7 juta, Swiss US$37,5 juta, Belanda US$37 juta, dan Turki US$36,8 juta.

Kendati begitu, pangsa ekspor Indonesia tidak berubah, yakni terbanyak masih ke China mencapai 20,5 persen. Setelah itu ke AS dan Jepang, masing-masing 12,92 persen dan 8,35 persen.

Secara total, ekspor Januari-Februari 2021 mencapai US$30,56 miliar atau naik 10,35 persen dari US$27,69 miliar pada Januari-Februari 2020.

Dari sisi impor, impor migas sebesar US$1,3 miliar atau turun 15,95 persen dari US$1,55 miliar pada bulan sebelumnya. Sementara impor nonmigas senilai US$11,96 miliar atau naik 1,54 persen dari sebelumnya.

“Penurunan impor dipengaruhi oleh komoditas migas, tapi nonmigasnya masih naik,” tuturnya.

Suhariyanto mencatat penurunan impor terjadi di barang konsumsi sebesar 13,78 persen menjadi US$1,22 miliar. Tapi impornya melejit 43,59 persen secara tahunan.

“Impor dipengaruhi oleh penurunan impor vaksin untuk tetanus dan sebagainya. Ada juga penurunan impor bawang putih dari China dan buah-buahan seperti jeruk, apel,” ungkapnya.

Lalu, impor bahan baku/penolong melorot 0,5 persen menjadi US$9,89 miliar. Sedangkan impor barang modal naik 9,08 persen menjadi US$2,15 miliar.

“Peningkatan impor barang modal berupa mesin-mesin dari Jepang, Filipina, Singapura, dan Amerika Serikat,” katanya.

Berdasarkan kode HS, kenaikan impor berasal dari komoditas mesin dan perlengkapan elektrik, ampas dan sisa industri makanan, gula dan kembang gula, perangkat optik, dan serelia.

Sementara penurunan impor berasal dari komoditas produk farmasi, berbagai produk kimia, buah-buahan, besi dan baja, serta kendaraan udara dan bagiannya.

Berdasarkan negara asal impor, penurunan impor nonmigas terjadi dari China mencapai US$215,9 juta, Korea Selatan US$113,9 juta, Afrika Selatan US$95,4 juta, Rusia US$70,7 juta, dan Taiwan US$65,9 juta.

Sebaliknya, peningkatan impor terjadi dari Brasil sebesar US$162,7 juta, Australia US$156,3 juta, Jepang US$127,2 juta, Thailand US$125,4 juta, dan Filipina US$78,6 juta.

Pangsa impor Indonesia utamanya didominasi dari China 32,78 persen, Jepang 8,31 persen, dan Thailand 5,63 persen.

Secara total, nilai impor mencapai US$26,59 miliar pada Januari-Februari 2021. Nilainya naik 3,01 dari US$25,82 Januari-Februari 2020.

 

 

 

 

Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : Tempo.co

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *