Setelah Obligasi jadi Hantu Bagi Emas, Kini Giliran Dolar AS

Sebelumnya harga emas tertekan karena naiknya imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Kini emas harus siap-siap melemah karena dolar AS yang mulai beringas.

Pada perdagangan pagi Selasa (3/2/2021), harga emas terkoreksi 0,19% ke US$ 1.734,31/troy ons. Harga emas jatuh ke bawah US$ 1.800/troy ons ketika yield surat utang pemerintah AS tembus 1,5%.

Saat itu imbal hasil dari obligasi pemerintah yang merupakan aset yang relatif aman ketimbang saham hampir menyamai dividen yield ekuitas AS. Bayangkan saja dividen yield S&P 500 hanya 1,57%.

Kenaikan imbal hasil obligasi ini membuat biaya peluang memegang emas menjadi naik dan logam kuning tersebut menjadi kurang dilirik. Harganya pun semakin tertekan akibat adanya fenomena technical selling saat emas ditransaksikan di bawah rata-rata harga 50 hariannya.

Kabar bahwa DPR AS (House of Representatives) meloloskan RUU bantuan fiskal senilai US$ 1,9 triliun membuat ekspektasi inflasi yang tinggi untuk jangka panjang naik. Ketika inflasi meningkat, emas akan menjadi salah satu aset yang diburu karena digunakan sebagai proteksi dan lindung nilai (hedging).

Namun di saat yang sama kabar stimulus juga membuat pergeseran sentimen terjadi. Pelaku pasar juga melihat adanya prospek pemulihan ekonomi yang lebih baik sehingga berpotensi besar membuat dolar AS menguat.

Menurut kepala riset Pepperstone Chris Weston, tren bullish harga emas bakal terjadi ketika tiga prasyaratnya terpenuhi. Apabila inflasi cepat meningkat, investor akan berbondong-bondong memborong emas sebagai untuk lindung nilai.

Jika terjadi guncangan deflasi, emas akan mendapat keuntungan dari penurunan lebih rendah imbal hasil obligasi nominal dan riil. Terakhir, jika The Fed (bank sentral AS) memberi sinyal siap untuk membatasi suku bunga acuan tenor panjang, emas juga naik.

Hanya saja dalam waktu dekat Chris Weston belum melihat tanda-tanda tersebut. Namun, baik investor maupun para ekonom memperkirakan The Fed akan merubah kebijakannya di bulan ini guna meredam gejolak di pasar obligasi.

Ketua The Fed, Jerome Powell, pada rapat kebijakan moneter 16 – 17 Maret waktu setempat diperkirakan akan mengaktifkan kembali Operation Twist yang pernah dilakukan 10 tahun yang lalu, saat terjadi krisis utang di Eropa.

Operation Twist dilakukan dengan menjual obligasi AS tenor pendek dan membeli tenor panjang, sehingga yield obligasi tenor pendek akan naik dan tenor panjang menurun. Hal tersebut dapat membuat kurva yield melandai.

Mark Cabana, ahli strategi suku bunga di Bank of America Global Research, mengatakan Operation Twist merupakan kebijakan yang sempurna untuk meredam gejolak di pasar obligasi.

“Operation Twist, dengan menjual obligasi tenor rendah dan membeli tenor panjang secara simultan adalah kebijakan yang sempurna menurut pandangan kami,” kata Cabana, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (1/3/2021).

Cabana menyebut Operation Twist “membunuh tiga burung dengan satu batu”. Yang pertama menaikkan yield jangka pendek, kemudian stabilitas yield jangka panjang, serta tidak akan menaikkan balance sheet.

Ke depan emas masih sulit untuk menguat ketika para pelaku pasar cenderung spekulatif dan agresif memburu aset-aset berisiko di tengah kebijakan makro yang dipertahankan tetap akomodatif.

 

 

 

 

Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Dunia Tambang

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *