Harga Minyak Mau Menguat Tapi Ada-Ada Saja Penghalangnya

Rata-rata harga kontrak futures (berjangka) minyak mentah di sepanjang 2021 sudah berada di atas US$ 50/barel. Kondisi memang membaik dibandingkan dengan tahun lalu. Namun harga minyak masih dibayangi oleh risiko Covid-19 yang semakin meluas.

Pada perdagangan Selasa (19/1/2021) pagi, harga kontrak minyak mentah yang aktif ditransaksikan bergerak mixed. Brent menguat 0,42% ke US$ 54,98/barel dan Wes Texas Intermediate (WTI) turun 0,1% ke US$ 52,31/barel.

Ada beberapa faktor yang menghambat kenaikan harga si emas hitam ini. Pertama adalah kenaikan dolar AS. Minyak merupakan salah satu komoditas yang dibanderol dalam mata uang Paman Sam. Penguatan greenback akan membuat harga minyak lebih mahal bagi pengguna mata uang lain.

Kedua dari sisi pasokan, industri minyak dan gas di AS sudah mulai bergeliat. Seiring dengan kenaikan harga minyak mentah yang terjadi sejak awal tahun banyak produsen minyak dan gas mulai beroperasi.

Data Baker Hughes menunjukkan bahwa jumlah rig yang digunakan di AS mulai meningkat. Hingga 16 Januari, jumlah rig yang digunakan untuk minyak bertambah 12 unit menjadi 287 unit, sementara untuk rig gas bertambah satu unit menjadi 85 unit.

Kendati jumlah unit rig yang digunakan merupakan yang tertinggi sejak April dan Mei tahun lalu tetap saja 53% lebih rendah dari periode sebelumnya terutama saat wabah Covid-19 merebak.

Terakhir dari sisi permintaan, adanya prospek suram akibat kembali maraknya lockdown membuat tren bullish harga minyak tertahan.

Kabar terbaru, China kembali melaporkan lonjakan kasus infeksi harian tertinggi dalam sepuluh bulan terakhir pada Jumat akhir pekan lalu. Mau tak mau aktivitas harus direm dan pembatasan mulai diterapkan kembali.

China merupakan salah satu importir terbesar minyak di dunia. Ketika perekonomiannya berhasil lolos dari Covid-19 impor minyak mentah ke China berhasil naik 7,3% di tahun 2020. Namun kini prospek ekonomi China kembali suram dengan adanya lonjakan kasus tersebut.

Padahal jika berharap pemulihan permintaan minyak, negara-negara kawasan Asia yang diharapkan. Menurut John Kilduff yang merupakan Partner di Again Capital di New York lockdown yang marak membuat prospek permintaan Asia berada dalam masalah.

“Penyebaran pandemi Covid-19 menjadi pusat perhatian lagi dan para trader semakin khawatir tentang durasi lockdown Eropa yang lama dan tentang pembatasan baru di China,” kata Bjornar Tonnage dari Rystad Energy. “Pasar secara struktural bullish, tetapi mungkin terlalu jauh dari fundamentalnya.” tambah Tonnage.

 

 

 

 

 

Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : BeritaSatu.com

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *