Ketidakpastian Perang Dagang AS-China Tekan Harga Minyak

Harga minyak mentah merosot pada perdagangan Kamis (31/1), waktu Amerika Serikat (AS). Pelemahan dipicu oleh ketidakpastian perdagangan yang menutupi sentimen pemangkasan produksi dan kebijakan moneter AS.

Dilansir dari Reuters, Jumat (1/2), harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) merosot US$0,44 menjadi US$53,79 per barel.

Sementara itu, harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Maret menguat US$0,24 menjadi US$61,89 per barel.

Pada Kamis (31/1) kemarin, Presiden AS Donald Trump mengindikasikan kesepakatan besar terkait perdagangan dengan China bisa saja tertunda. Hal itu membuat trader minyak berebut melakukan aksi jual pada hari perdagangan terakhir untuk kontrak minyak pengiriman Maret.

“Ada kecenderungan untuk mengambil untung jika ada sinyal pelemahan, dan pernyataan Presiden Trump soal kesepakatan dengan China dapat ditunda memicu pergerakan harga lebih rendah,” ujar Analis Perminyakan Price Futures Group Phil Flynn di Chicago.

Investor khawatir terhadap hasil pembahasan perdagangan antara AS-China yang dapat mempengaruhi proyeksi permintaan minyak di perekonomian terbesar dunia.

Pembicaraan antara kedua negara telah dilakukan beberapa waktu lalu. bertujuan untuk meredakan perang tarif antara dua perekonomian terbesar di dunia yang telah terjadi selama beberapa bulan.

“Pelaku pasar sangat membutuhkan progres nyata dari pembicaraan perdagangan AS-China, yang sayangnya saat ini progresnya masih belum banyak,” ujar Analis Energi Senior Interfax Energy Abhishek Kumar di London.

Terdapat sedikit indikasi China akan membahas inti dari tuntutan AS pada pembicaraan. Jika kedua negara tidak bisa mencapai kesepakatan dalam waktu dekat, Gedung Putih telah mengancam untuk melipatgandakan tarif produk China pada 2 Maret 2019.

Pasar sebenarnya masih memiliki faktor pendorong harga. Salah satuny dari kesepakatan pemangkasan produksi yang dilakukan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia.

Berdasarkan survei Reuters, pada Januari, produksi OPEC telah merosot. Penurunan tersebut merupakan penurunan terbesar selama dua tahun terakhir seiring pemangkasan produksi Arab Saudi dan Negara Teluk yang lebih besar dari kesepakatan ditambah penurunan terpaksa dari pasokan dari Iran, Libya, dan Venezuela.

Sebelumnya, OPEC dan sekutunya sepakat memangkas produksinya pada Desember 2018 lalu untuk mengatasi membanjirnya pasokan di pasar yang menekan harga. Kesepakatan mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2019 lalu.

Di AS, bank sentral Federal Reserve memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya pada Rabu (30/1), waktu setempat. Hal itu memberikan sinyal kebijakan pengetatan moneter bakal berakhir di tengah suramnya proyeksi pertumbuhan ekonomi AS.

The Fed melupakan janjinya untuk mengerek suku bunga secara bertahap dan menyatakan akan bersabar sebelum memutuskan langkah berikutnya.

Pengenaan sanksi AS terhadap ekspor minyak perusahaan pelat merah Venezuela PDVSA pekan ini juga menyebabkan gangguan pasokan. Akibatnya, persediaan minyak mulai menumpuk di pelabuhan dan terminal minyak Venezuela.

 

 

 

 

 

Sumber : Cnnindonesia.com
Gambar : Medcom.id

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *