Sindiran ‘No Viral No Justice’ dan Balasan ‘No Baper’ dari Polri

Istilah ‘no viral no justice’ menggema di media sosial. Tagar #NoViralNoJustice, #PercumaLaporPolisi, dan #SatuHariSatuOknum yang dilahirkan masyarakat merupakan bentuk sindiran dan kekecewaan terhadap institusi Polri.

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menilai istilah tersebut dilahirkan agar Kepolisian Negara Republik Indonesia lebih cepat dalam menangani suatu perkara.

“No viral no justice adalah sindiran masyarakat agar Polri lebih profesional dan sigap dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, terutama dalam menindaklanjuti laporan-laporan masyarakat,” kata Komisioner Kompolnas Poengky Indarti kepada CNNIndonesia.com, Kamis (6/7).

Ia mengatakan jika Polri lambat dalam mengusut laporan masyarakat, maka Polri akan mendapat stempel tak profesional dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Atas hal itu, masyarakat sebagai pelapor kemudian memilih untuk menyebarluaskan kasus yang dilaporkan tersebut pada media sosial sehingga menjadi viral.

Adapun harapan dari viralnya kasus tersebut yakni pelapor akan memperoleh perhatian publik dan pemimpin Polri dan diharapkan segera diusut tuntas.

Poengky mengatakan tagar #NoViralNoJustice, #PercumaLaporPolisi, dan #SatuHariSatuOknum di media sosial menjadi kritik bagi Polri.

“Pimpinan Polri dan seluruh anggota Polri perlu menjadikan kritik masyarakat seperti misalnya tagar no viral no justice, percuma lapor polisi, satu hari satu oknum, sebagai bahan evaluasi menyeluruh terhadap rekrutmen, pendidikan, dan kinerja anggota. Sekaligus sebagai refleksi apakah mandat reformasi Polri, khususnya reformasi kultural Polri telah dilaksanakan dengan baik,” ujarnya.

Poengky menekankan bahwa Polri bertugas untuk melayani, mengayomi, melindungi masyarakat dan menegakkan hukum guna terwujudnya Harkamtibmas, sehingga selalu bersentuhan dengan masyarakat. Bahkan, bisa sampai 24 jam. Oleh karena itu, pelayanan Polri harus benar-benar bisa memuaskan hati masyarakat.

Menurutnya, di era teknologi digital yang semakin berkembang pesat ini, pengawasan terhadap Polri tak hanya di internal dan eksternal saja. Melainkan juga di publik dan media.

Dengan pengawasan itu, Polri harus lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang melukai hati masyarakat.

“Seperti misalnya melakukan kekerasan berlebihan, arogansi, pungli, bekerja tidak profesional, dan sebagainya,” ucap Poengky.

“Pimpinan dan seluruh anggota Polri juga harus responsif, jika ada laporan atau pengaduan harus segera ditindaklanjuti. Jangan sampai pengadu tidak puas karena merasa dicueki, lalu memviralkan,” tambahnya.

Senada, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai ungkapan ‘no viral no justice’ adalah ekspresi kekecewaan masyarakat kepada Polri.

Menurut Wakil Koordinator Strategi dan Mobilisasi KontraS Andi Rezaldi, kekecewaan itu timbul dari kinerja Polri yang tidak profesional dalam menghadapi sebuah kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

“No viral no justice itu sebetulnya merupakan bentuk ekspresi dari kekecewaan masyarakat terhadap kepolisian. Karena kepolisian saat ini memang masih dihadapkan dengan situasi yang tidak profesional,” ujar Andi di kantor KontraS, Kamis (4/7).

Seharusnya, kata Andi, Polri bisa menindaklanjuti kasus yang ada sebelum viral lantaran sudah memiliki tugas dan kewenangan untuk mengusut sebuah perkara.

Dengan adanya ungkapan no viral no justice, Andi berharap Polri bisa memperbaiki diri dan merespons ekspresi masyarakat tersebut. Sebab, menurutnya, masyarakat punya hak untuk dilayani saat melaporkan sesuatu.

“Jadi, no viral no justice itu bisa saja menjadi mekanisme. Akan tetapi, yang harus diperkuat adalah profesionalisme Polri agar menindaklanjuti laporan saat masyarakat mengadu,” tuturnya.

Kinerja Polri yang lamban dalam menangani sebuah kasus membuat masyarakat melakukan tindakan impulsif dengan memviralkan sebuah kasus.

“Ketika korban mengajukan laporan dan diterima, biasanya dari kepolisian sendiri sangat lama dalam menindaklanjuti sehingga tidak efektif,” kata dia.

Dalam kesempatan sama, Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi KontraS Rozy Brilian mengatakan pihaknya sudah pernah membuat kajian no viral no justice pada tahun lalu dengan ungkapan ‘tidak optimal sebelum viral’.

Ia menilai pihak kepolisian acap kali setengah hati dalam melayani masyarakat. Selain itu, dia juga mengatakan Polri tak proaktif dalam menindaklanjuti segala laporan yang ada.

“Memang kepolisian setengah hati, bahkan tidak berniat menyelesaikan laporan kasus sebelum viral. Hal itu sangat jadi sorotan kami karena kepolisian tidak proaktif dalam menindaklanjuti laporan masyarakat,” ucapnya

Padahal, kata Rozy, kepolisian menjadi satu-satunya aparat penegak hukum untuk menangani tindak pidana yang terjadi ruang lingkup masyarakat, misalnya pencurian motor, pemerkosaan, dan lain-lain.

“Bahkan, orang-orang harus merogoh koceknya untuk membuat polisi bekerja atau menindaklanjuti kasus tersebut. Fenomena tersebut pastinya sangat memprihatinkan,” ujar Rozy.

Kontras mengaku menyayangkan sikap Polri yang terkesan acuh dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat dan justru berfokus kepada citra lembaga semata.

“Dalam tiap kesempatan, polisi selalu memaparkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada mereka. Padahal, seharusnya mereka meningkatkan kinerja di lapangan, bukan berfokus kepada citra dan angka survey saja,” kata dia.

Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan pihaknya tak baper alias terbawa perasaan dengan istilah ‘no viral no justice’ yang muncul di media sosial.

“Kami enggak menganggap baper, justru kami anggap itu sebagai masukan bagi Polri,” ujar Ramadhan dalam diskusi virtual, Rabu (5/7).

Ramadhan menilai ungkapan itu menjadi alat kontrol dari masyarakat terhadap Polri. Hal itu menunjukkan masyarakat masih peduli dengan institusi Polri.

Ramadhan memastikan Polri akan terus melakukan perbaikan dari sisi instrumental, struktural, dan kultural. Ia juga mengatakan oknum yang nakal akan ditindak tegas.

“Siapa pun anggota yang melanggar. Itu tidak memandang pangkat apapun. Mau dia tamtama, bintara, perwira, pati, bahkan perwira tinggi Polri sekalipun,” katanya.

Selain itu, Ramadhan menegaskan bahwa Polri tidak akan melindungi orang yang melanggar dan oknum pelanggar tak akan bisa berlindung di balik institusi Polri.

 

 

 

 

 

 

Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : Media Mahasiswa Indonesia

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *