AS Siapkan Aturan Ketenagakerjaan Baru

Pemerintahan Joe Biden mengusulkan aturan tenaga kerja baru yang dianggap lebih berpihak pada pekerja, khususnya pekerja informal.

Mengutip CNN, Rabu (12/10), aturan yang diusulkan oleh Departemen Tenaga Kerja bertujuan untuk memperluas tes yang menentukan apakah pekerja berhak atas perlindungan, seperti upah minimum dan upah lembur di bawah undang-undang federal.

“Sementara, pekerja informal memiliki peran penting dalam perekonomian kita, kita telah melihat dalam banyak kasus bahwa majikan salah mengklasifikasikan karyawan mereka sebagai pekerja informal, terutama di antara pekerja bangsa kita yang paling rentan,” kata Sekretaris Tenaga Kerja Marty Walsh dalam sebuah pernyataan Selasa.

Aturan baru itu akan mempengaruhi pekerja di berbagai industri, seperti perawatan rumah, truk, layanan pengiriman, dan perhotelan.

Saham Uber dan Lyft , yang drivernya dianggap sebagai pekerja informal, turun lebih dari 10 persen dalam perdagangan kemarin di tengah berita tentang aturan yang diusulkan. Sementara, saham DoorDash turun sekitar 6 persen.

Dalam sebuah pernyataan, Uber menyebut proposal tersebut sebagai pendekatan terukur sambil mencatat bahwa para pengemudinya secara konsisten menyatakan bahwa mereka lebih menyukai fleksibilitas.

Lyft menyatakan aturan itu tidak akan mengklasifikasi ulang pengemudi mereka sebagai karyawan dan tidak akan memaksa perusahaan untuk mengubah model bisnis mereka.

Sementara itu, Gig Workers Rising sebuah kelompok advokasi, memuji rencana Biden.

“Selama bertahun-tahun, perusahaan telah mengeksploitasi undang-undang perburuhan yang sudah ketinggalan zaman untuk menghindari semua tanggung jawab bagi pekerja mereka,” kata Rondu Gantt, pengemudi Uber, Lyft, dan DoorDash yang berbasis di San Francisco.

“Aturan ini dapat membantu membangun perlindungan dasar bagi pekerja berbasis aplikasi seperti saya dan memberi kami alat penting untuk memperjuangkan rasa hormat dan keselamatan di tempat kerja.”

Nantinya, dalam aturan tersebut akan memperluas tes yang digunakan Departemen Tenaga Kerja untuk menentukan apakah seorang pekerja adalah karyawan atau pekerja informal/independen.

Beberapa poin yang masuk dalam tes tersebut seperti apakah pekerjaan merupakan bagian integral dari bisnis majikan, seberapa besar kendali perusahaan atas pekerja, dan apakah pekerja memiliki kendali atas penghasilan mereka sendiri.

“Aturan ini akan lebih memperjelas apakah pekerja tersebut secara ekonomi bergantung pada pemberi kerja untuk bekerja (dan dengan demikian seorang karyawan) atau dalam bisnis untuk diri mereka sendiri (dan dengan demikian merupakan kontraktor independen),” ujar Marty Walsh.

“Kesalahpahaman membuat pekerja kehilangan perlindungan tenaga kerja federal mereka, termasuk hak mereka untuk dibayar penuh, upah yang diperoleh secara sah,” imbuh Walsh.

Jika aturan itu berlaku, maka departemen ketenagakerjaan akan mencabut aturan kontraktor independen 2021 yang mempersempit kualifikasi karyawan.

Sementara itu, Federasi Ritel Nasional, sebuah kelompok perdagangan yang mewakili pengecer terbesar AS, menentang aturan baru dan menilai perubahan itu hanya akan merugikan bisnis dengan menaikkan biaya.

“Perubahan yang diusulkan oleh Departemen Tenaga Kerja akan secara signifikan meningkatkan biaya untuk bisnis di semua industri, dan selanjutnya mendorong inflasi yang sudah merajalela,” kata Wakil Presiden Senior Hubungan Pemerintah National Retail Federation David French.

“Keputusan ini hanya akan menumbuhkan kebingungan besar, litigasi tanpa akhir, pengurangan inovasi, dan lebih sedikit peluang bagi karyawan dan kontraktor independen,” lanjutnya.

 

 

Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : CNN Indonesia

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *