Ambisi Made in China 2025 Jadi Batu Sandungan Penyelesaian Konflik Dagang AS-China

Rencana China untuk mendominasi teknologi di masa depan dipercaya menjadi salah satu batu sandungan untuk prospek resolusi perang dagang dengan AS.

Bloomberg melaporkan, pejabat di kedua belah pihak kian pesimistis akan adanya peluang untuk terobosan yang dapat diambil ketika Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping bertemu di sela-sela KTT negara kelompok 20 (G20) di Buenos Aires, Argentina, pada 30 November—1 Desember 2018.

Sejauh ini, Trump masih melanjutkan ancamannya untuk menambah tarif atas produk impor asal China sementara Xi berjuang menahan dampaknya di dalam negeri tanpa memperlihatkan tanda-tanda untuk kompromi dalam mengurangi kekuatan teknologi Negeri Panda.

Adapun bagi Xi, mengurangi ketergantungan dengan industri cerobong asap dan beralih ke teknologi terbaru yang lebih bersih merupakan pokok dari tekadnya dalam menciptakan kemakmuran masyarakat China.

Di sisi lain, Trump dan pemerintahannya telah merasa terancam dengan keinginan Xi tersebut, dan merasa perlu menyelamatkan keunggulan ekonomi AS. Pemerintahan Trump pun saat ini menilai posisinya masih berada di atas dari China.

“Kami memiliki keuntungan ekonomi saat ini,” kata Larry Kudlow, Kepala Dewan Ekonomi Nasional AS, melalui pidatonya baru-baru ini, seperti dikutip Bloomberg, Senin (29/10/2018).

Sementara itu, para pejabat di Beijing tampaknya masih akan “bermain” lama dengan AS di bidang teknologi ini.

Pasalnya, walaupun China telah mengurangi signifikansi rencana Made in China 2025 (rencana yang ingin mendominasi industri teknologi mulai dari robotik hingga kendaraan berenergi terbarukan dan kedirgantaraan) dan menyatakan bakal membuka diri untuk perusahaan asing, Pemerintah China tampak masih belum menunjukkan keinginan untuk meninggalkan rencana tersebut.

Saat ini, dokumen tidak resmi yang berjudul “The Made in China 2025 Major Technical Road Map” atau yang dikenal dengan nama Green Book, mengacu kepada sampulnya yang berwarna hijau, masih digunakan.

Meskipun disebutkan di dalamnya bahwa rencana Made in China 2025 tidak menargetkan perusahaan China untuk menambah pangsa pasar domestik dan global, dan malah menyatakan implementasi dari rencana tersebut harus didominasi oleh pasar, dokumen setebal 296 halaman tersebut tetap penuh dengan ambisi dan tujuan yang ingin dicapai Pemerintah China.

Adapun China bukanlah satu-satunya negara di dunia ini yang ingin menopang perindustriannya. Sebelumnya, kebijakan industri juga sempat populer di Jepang ketika pertumbuhan ekonominya melaju pada era 1970-an dan 1980-an.

Rencana Made in China 2025 sendiri merupakan adopsi dari “Industry 4.0 Plan” dari Jerman yang diserap pada 2013. Sementara itu di AS, terobosan untuk semikonduktor, kekuatan nuklir, teknologi gambar, dan lainnya juga dilindungi oleh kebiajakan industri.

Namun demikian, rencana 2025 milik China tersebut tetap menjadi “permainan” dalam hubungan ekonomi dengan AS.

“Itu [rencana Made in China 2025] merupakan penangkal petir yang memperjelas kekhawatiran semua orang,” kata Timothy Stratford, Managing Partner di Covington&Burling LLP dan mantan asisten Perwakilan Perdagangan AS.

 

 

 

 

Sumber : CNBCindonesia.com
Gambar : Beranda

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *