BPOM: Depot Air Minum Isi Ulang Tak Wajib Tempel Peringatan BPA

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyebut pengusaha depot air minum isi ulang tidak diwajibkan memasang label peringatan ‘berpotensi mengandung Bisfenol A (BPA)’ dalam produk air minum dalam kemasan (AMDK) yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat (PC) milik mereka.

Kepala BPOM Penny K. Lukito menambahkan, wacana regulasi baru soal pemberian label BPA hanya berlaku bagi pelaku usaha AMDK yang memiliki izin edar. Ia juga menegaskan bahwa regulasi pelabelan BPA tidak melarang penggunaan kemasan galon berbahan plastik PC, hal itu untuk meminimalisasi risiko kerugian ekonomi bagi pelaku usaha.

“Regulasi ini hanya berlaku untuk AMDK yang mempunyai izin edar, sehingga tidak berdampak terhadap depot air minum isi ulang,” kata Penny dikutip dari situs resmi BPOM, Kamis (9/6).

“Pelaku usaha akan diberikan waktu selama 3 tahun sejak peraturan diundangkan untuk menyesuaikan label produk AMDK beredar agar sesuai dengan ketentuan tersebut,” imbuhnya.

BPA merupakan salah satu bahan penyusun plastik PC kemasan air minum dalam galon. Pada kondisi tertentu, lanjut Penny, BPA dapat bermigrasi dari kemasan plastik PC ke dalam air yang dikemasnya.

Penny menjelaskan, BPA berdampak pada kesehatan melalui mekanisme endocrine disruptors atau gangguan hormon khususnya hormon estrogen sehingga berkorelasi pada gangguan sistem reproduksi baik pria maupun wanita.

BPA juga dapat memicu diabetes dan obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal, kanker, perkembangan kesehatan mental, Autism Spectrum Disorder (ASD), dan pemicu Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).

Di Indonesia, persyaratan batas migrasi BPA pada kemasan plastik PC sebagaimana diatur dalam Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan adalah 0,6 bagian per juta (bpj).

Hasil pengawasan kemasan galon yang dilakukan BPOM pada 2021 dan 2022 ditemukan hasil uji migrasi BPA yang mengkhawatirkan, yaitu sebesar 46,97 persen dari produk yang diawasi di sarana peredaran dan 30,91 persen dari produk yang diawasi di sarana produksi.

Bahkan menurut Penny, 3,4 persen sampel produk di sarana peredaran tidak memenuhi persyaratan migrasi BPA. Hasil pengawasan BPOM itulah yang menurutnya semakin memperkuat perlunya penyusunan revisi regulasi pelabelan AMDK.

“Pengaturan pelabelan BPA pada AMDK ini juga dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, regulasi, serta bukti ilmiah di negara lain,” jelasnya.

Penny kemudian memastikan agar tidak terjadi penyimpangan informasi, regulasi baru ini nantinya hanya mengatur kewajiban mencantumkan tulisan cara penyimpanan pada label AMDK.

Di antaranya berbunyi, ‘Simpan di tempat bersih dan sejuk, hindarkan dari matahari langsung, dan benda-benda berbau tajam’ dan pencantuman label ‘Berpotensi Mengandung BPA’ pada produk AMDK yang menggunakan kemasan plastik PC.

Namun demikian, pencantuman label ‘Berpotensi Mengandung BPA’ dikecualikan untuk produk AMDK dengan hasil analisis BPA tidak terdeteksi dengan nilai Limit of Detection (LoD) ≤ 0,01 bpj dan migrasi BPA dari kemasan plastik polikarbonat memenuhi ketentuan perundang-undangan.

“Dan menjadi tanggung jawab kita bersama untuk tidak berdiri di tempat, namun terus melangkah ke depan, merespons segala sesuatu dengan semangat inovasi dan semangat perubahan untuk kepentingan kita bersama, bukan kepentingan individu, kelompok, atau kita sendiri,” kata Penny.

 

 

 

 

Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : CNN Indonesia

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *