Masuk ke Zona Merah Lagi, Ini Penyebab Rupiah Sulit Menguat

Perhatian pelaku pasar yang tertuju pada rapat kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) membuat rupiah kesulitan menguat. Setelah mencatat pelemahan dua hari beruntun, rupiah kembali masuk ke zona merah pada perdagangan Selasa (15/3).

Melansir data Refinitiv, begitu perdagangan dibuka, rupiah melemah tipis 0,03% ke Rp 14.335/US$.

Pergerakan rupiah di pasar non-deliverable forward (NDF) juga cukup menarik. Tenor 1 pekan pagi ini lebih lemah ketimbang beberapa saat setelah penutupan perdagangan kemarin. Sementara tenor 1 bulan ke atas mayoritas mengalami penguatan.

Hal tersebut bisa menjadi indikasi pelaku pasar memilih dolar AS untuk mengantisipasi pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) di pekan ini, tetapi ke depannya rupiah masih lebih unggul.

Tetapi tentu saja semua tergantung bagaimana pengumuman kebijakan The Fed pada Kamis dini hari waktu Indonesia. Suku bunga pasti akan dinaikkan setidaknya 25 basis poin menjadi 0,25% – 0,5%.

Tetapi dalam pengumuman kebijakan moneter kali ini The Fed juga akan memberikan proyeksi terbaru mengenai inflasi hingga pertumbuhan ekonomi. Selain itu, bank sentral paling powerful di dunia ini juga akan merilis dot plot yang akan menjadi perhatian utama pelaku pasar.

Dot plot bisa memberikan gambaran seberapa agresif The Fed akan menaikkan suku bunga di tahun ini dan dua tahun ke depan.

“Kenaikan 25 basis poin sudah pasti. Yang penting saat ini adalah apa yang terjadi setelahnya. Banyak yang bisa terjadi dari saat ini hingga akhir tahun nanti. Ketidakpastian sangat tinggi,” kata Simona Mocuta, kepala ekonomi di State Street Global Advisor, sebagaimana diwartakan CNBC International, Senin (14/3).

Perang Rusia dan Ukraina masih menjadi salah satu penggerak pasar mata uang. Kedua negara tersebut memulai kembali perundingan pada Senin waktu setempat, dan perkembangannya akan mempengaruhi pergerakan rupiah hari ini.

Sementara itu dari dalam negeri, rilis data neraca dagang yang diperkirakan mencatat surplus 22 bulan beruntun bisa mendongkrak kinerja rupiah. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan nilai ekspor bulan lalu naik 39,17% dari Februari (year-on-year/yoy). Sementara impor diperkirakan tumbuh 38,53% yoy.

Dengan perkiraan tersebut, neraca perdagangan diprediksi surplus US$ 1,8 miliar di Februari.

Surplus neraca perdagangan tersebut membantu transaksi berjalan mencatat surplus di tahun 2021 lalu. menjadi yang pertama dalam 10 tahun terakhir.

Transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial bagi pergerakan rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil ketimbang pos Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) lainnya, yakni transaksi modal dan finansial.

 

 

 

 

Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Tribun

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *