Permainan Berbahaya Rusia-AS di Ukraina

Permainan yang berbahaya sedang berlangsung di Eropa. Rusia dan Amerika Serikat (AS) saling gertak untuk dapat mengamankan kepentingan mereka. Taruhannya? Stabilitas keamanan di kawasan.

Ukraina menjadi medan kontestasi kedua raksasa. Beberapa bulan ke belakang, Rusia memobilisasi militernya ke daerah perbatasan dengan Ukraina. AS dan sekutunya serta-merta menuduh Rusia berencana menginvasi Ukraina.

Rusia membantah keras tuduhan tersebut. Kremlin balik menuduh Barat meningkatkan ketegangan di kawasan. Rusia curiga Barat berniat memasukkan Ukraina ke dalam NATO.

Rusia memang tidak suka jika ada negara bekas Uni Soviet yang menjadi pro-Barat. Menurut pandangan Negeri Beruang Merah itu, negara-negara bekas Uni Soviet adalah buffer state yang memisahkan teritorinya dengan Barat. Semakin banyak negara bekas Uni Soviet yang dirangkul Barat, semakin Rusia merasa terancam dan dipojokkan.

AS dan sekutunya menganggap kekhawatiran Rusia berlebihan. Mereka berdalih NATO adalah pakta pertahanan yang bersifat defensif. Mereka juga menganggap negara-negara bekas Uni Soviet sebagai entitas berdaulat yang berhak menentukan pilihan sendiri.

Sebagai upaya meredakan ketegangan, Rusia dan AS terus melakukan pembicaraan terkait Ukraina. Namun, upaya diplomasi hingga saat ini masih tak membuahkan hasil. Kedua pihak bersikukuh dengan pendiriannya masing-masing.

Bulan lalu, Rusia menyerahkan daftar tuntutan kepada AS dan sekutunya. Salah satunya adalah tuntutan agar NATO berhenti menambah anggota. NATO juga diminta menyetop aktivitas di wilayah Eropa Timur, Kaukasia dan Asia Tengah.

AS dan sekutunya merasa permintaan Rusia sulit terpenuhi. Mereka mengancam akan membalas dengan keras jika Rusia nekat menginvasi Ukraina. Banyak pula anggota NATO yang kini mengintensifkan hubungan militer dengan Ukraina.

Pertanyaan besarnya adalah apa yang akan terjadi jika tidak ada pihak yang mau mengalah. Apa Rusia akan benar-benar menginvasi Ukraina? Apa AS dan sekutunya akan membela Ukraina habis-habisan?

Di satu sisi, Presiden Rusia Vladimir Putin bisa menghadapi masalah jika dia memutuskan untuk melunak. Dia akan terlihat lemah di mata warga Rusia. Ancamannya juga tidak akan lagi dianggap serius di masa mendatang.

Di sisi lain, Presiden AS Joe Biden memiliki masalahnya sendiri. Reputasinya anjlok setelah AS mundur secara tergesa-gesa dari Afghanistan. Tingkat kepercayaan publik AS terhadap Pemerintahan Biden pun rendah setahun belakangan. Negeri Paman Sam tersebut juga akan mengadakan pemilu sela tahun ini.

Pada intinya, kedua pemimpin tidak bisa terlihat lemah. Jika upaya diplomasi diharapkan untuk berhasil, harus ada kompromi yang bisa diterima kedua belah pihak.

 

 

 

 

 

Sumber : medcom.id
Gambar : medcom.id

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *