Harga Minyak Masih Malu-malu, Naiknya Tipis-tipis

Di hari terakhir perdagangan pekan ini Jumat (14/8/2020) harga minyak mentah untuk kontrak yang aktif ditransaksikan mencatatkan penguatan tipis dibandingkan posisi penutupan Kamis kemarin.

Pada 09.10 WIB, harga minyak berjangka Brent naik 0,13% ke US$ 45,02/barel. Untuk minyak acuan Amerika Serikat (AS) yakni West Texas Intermediate (WTI) naik 0,09% ke US$ 42,28/barel.

Harga minyak naik pada menuju kenaikan minggu kedua di tengah meningkatnya kepercayaan bahwa permintaan bahan bakar mulai membaik meskipun pandemi virus corona telah menghantam perekonomian global.

“Situasi telah membaik, tetapi dinamika pasar masih kurang bagus,” kata Robert Yawger, direktur energi berjangka di Mizuho Securities, pasar saat ini dinilai masih kelebihan pasokan.

Kenaikan harga didukung oleh data pemerintah AS yang menunjukkan persediaan minyak mentah, bensin, dan sulingan semuanya turun minggu lalu karena banyak kilang yang mulai menggenjot produksinya dan permintaan untuk produk minyak meningkat.

Namun, Badan Energi Internasional (IEA) telah mengurangi perkiraan permintaan minyaknya untuk tahun ini, dan mengatakan perjalanan udara yang lebih rendah karena pandemi Covid-19 akan memangkas konsumsi minyak global tahun ini sebesar 8,1 juta barel per hari (bpd).

Senada dengan IEA, Organisasi Negara Eksportir Minyak (OPEC) mengatakan awal pekan ini bahwa permintaan minyak dunia kemungkinan akan turun 9,06 juta bpd tahun ini. Penurunan ini lebih besar dari proyeksi penurunan bulan lalu yang berada di angka 8,95 juta bpd.

OPEC dan sekutunya termasuk Rusia, yang secara kolektif disebut OPEC+, memangkas produksi sejak Mei sekitar 10% dari permintaan global untuk mengatasi dampak dari krisis kesehatan global.

Sementara itu, Menteri Energi Rusia Alexander Novak mengatakan dia tidak mengharapkan keputusan cepat mengenai pengurangan produksi ketika komite pemantau OPEC+ bertemu minggu depan.

Harga minyak juga mendapat sentimen positif dari data tenaga kerja AS semalam. Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan klaim tunjangan pengangguran masih naik tinggi tetapi angkanya sudah berada di bawah 1 juta.

Di sisi lain investor juga kembali menyorot poros Washington-Beijing. Keduanya dilaporkan bakal menggelar pertemuan untuk meninjau kesepakatan dagang fase I yang sudah berjalan enam bulan.

Dalam kesepakatan awal tersebut, China ditargetkan untuk membeli produk-produk pertanian, manufaktur, energi hingga jasa AS senilai US$ 200 miliar pada 2020-2021. Namun sampai dengan Juni, China baru mencatatkan capaian 23% saja.

Masih sangat jauh dari target memang. Namun mau bagaimana lagi, pandemi Covid-19 telah membuat ekonomi China juga anjlok pada kuartal pertama walaupun mulai bangkit pada periode April-Juni.

Akibat pandemi Covid-19, hubungan AS-China juga menjadi semakin runyam. Kisruh pun melebar ke berbagai bidang mulai dari asal muasal pandemi, otonomi Hong Kong, pelanggaran HAM soal komunitas minoritas di China hingga isu perdagangan dan navigasi bebas serta kedaulatan wilayah di Laut China Selatan (LCS).

Sedikit kabar baiknya adalah, meski hubungan bilateral Washington-Beijing memburuk, tetapi baik Trump maupun Xi Jinping tampaknya tak akan membuang begitu saja kesepakatan yang dibuat.

Scott Kennedy, seorang ahli China di CSIS di Washington, mengatakan kepada Bloomberg Television minggu ini bahwa “sungguh menakjubkan bahwa meskipun ada badai yang sedang mendera hubungan AS-China, baik Trump maupun Xi Jinping tak ada yang benar-benar ingin membuang kesepakatan tersebut.”

“Untuk Trump, singkatnya, ini tentang petani – penjualan yang dapat mereka lakukan untuk negara bagian yang merah [basis Partai Republikan] dalam pemilu ini,” kata Kennedy.

Untuk Presiden China Xi, “ini tentang stabilitas dan menjaga hubungan agar tidak sepenuhnya runtuh,” lanjut Kennedy, mengutip pemberitaan Bloomberg.

 

 

 

 

 

Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Investor Daily

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *