Kejaksaan Ajukan Pembatalan Pernikahan Sesama Pria di NTB

Kejaksaan Negeri Mataram mengajukan pembatalan pernikahan sesama jenis di Nusa Tenggara Barat yang sempat viral.
Kasus ini diduga berawal dari kasus penipuan pelaku Mita alias Supriyadi yang mengaku sebagai seorang perempuan. Supriyadi dinikahi Muhlisin bin Kalamullah yang tidak tahu ‘istrinya’ tersebut adalah pria.

Dalam kasus juga ditengarai ada pemalsuan data kependudukan. Pernikahan itu sendiri disaksikan oleh Kepala Dusun, tokoh-tokoh agama, serta masyarakat dan telah didaftarkan ke Kantor Urusan Agama (KUA).

“Pada hari Senin tanggal 15 Juni 2020 yang lalu, Tim Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Negeri Mataram dan Kejaksaan Tinggi NTB, telah mendaftarkan Permohonan Pembatalan Perkawinan terhadap Muhlisin bin Kalamullah dengan Mita binti Firman di Pengadilan Agama Giri Menang Lombok Barat,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Hari Setiyono melalui keterangan resmi, Rabu (17/6).

Dia menjelaskan bahwa permohonan itu diajukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Mataram dengan memberi kuasa terhadap empat Jaksa Pengacara Negara. Pembatalan perkawinan itu diajukan lantaran dinilai tidak sah karena dilakukan antar-pria atau sesama jenis.

Hari mengacu pada ketentuan dalam pasal 1 dan pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengharuskan pernikahan dilakukan antara laki-laki dan perempuan.

Selain itu, dia menjelaskan Jaksa mewakili pemerintah memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan itu berdasarkan ketentuan pasal 30 ayat (2) dan pasal 32 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004.

“Di mana perkawinan sejenis tidak diperbolehkan atau dilarang di Indonesia dan perkawinan semacam itu batal demi hukum dan dapat dibatalkan,” lanjut dia.

Atas perkara ini, Polres Lombok Barat sudah menetapkan Mita alias Supriyadi atas dugaan pemalsuan.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Loba AKP Dhafid Shiddiq mengatakan kasus tersebut bermula dari laporan Muhlisin pada 6 Juni. Dari laporan itu, polisi kemudian melakukan penyelidikan dan meminta keterangan sejumlah saksi.

Kecurigaan korban bermula ketika keduanya sudah menikah namun Mita menolak untuk berhubungan badan dengan alasan sedang haid. Dua hari kemudian, korban pun merasa curiga dengan jenis kelamin dari Mita. Dia pun mulai mencari tahu sosok Mita ke Kepala Lingkungan Pajarakan yang bernama Muhamad Khaskian.

Kemudian korban lalu menelusuri identitas Mita kepada pihak keluarga dan warga setempat. Dari keterangan warga akhirnya diketahui bahwa Mita ternyata adalah seorang pria dengan nama Supriyadi.

Tersangka, kata Dhafid, akhirnya berhasil diamankan oleh warga Desa Gelogor di wilayah Senggi dan selanjutnya dibawa ke Polres Loba untuk diproses hukum.

Disampaikan Dhafid, penyidik telah melakukan gelar perkara pada Selasa (9/6) dan akhirnya menetapkan Mita sebagai tersangka. Mita dijerat Pasal 378 KUHP karena memalsukan data diri pada KTP.

“Sudah kami gelar, setelah pemeriksaan saksi-saksi dan alat bukti, kita tetapkan terlapor sebagai tersangka,” katanya.

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, mengakui Mita memalsukan identitas data kependudukan.

“Dari hasil penelusuran petugas kami, nomor induk kependudukan (NIK) yang digunakan oleh Mita di KTP palsunya adalah milik seorang warga bernama Dedi Irawan yang bertempat tinggal di Cakranegara,” kata Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Mataram Chaerul Anwar dikutip dari Antara.

Selain itu, lanjut Chaerul, dalam kartu keluarga (KK) miliknya, tidak ada tertera nama Mita, melainkan Sunardi sehingga kemungkinan besar, KTP yang dimiliki oleh Mita bukan KTP elektronik melainkan manual.

“Ini artinya, Mita memalsukan data kependudukan miliknya. Di KK Sunardi, sangat mungkin dicetak secara manual. Ini pemalsuan identitas,” katanya.

Salah satu indikator pembeda antara KTP perempuan dan laki-laki, katanya, yaitu warna latar foto, di mana KTP untuk laki-laki memiliki latar foto berwarna biru dan perempuan warna merah.

Chaerul menambahkan pelaku akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

“Berdasarkan Undang-undang, pemalsuan data kependudukan diancam hukuman 6 tahun penjara dan denda sebesar Rp50 juta,” katanya.

 

 

 

 

 

 

Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : CNN Indonesia

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *