Produsen Es Krim Aice PHK 620 Buruh

PT Alpen Food Industry (AFI) yang merupakan produsen es krim merek AICE melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap sekitar 620 karyawan. Jumlah karyawan tersebut terdiri dari karyawan tetap sebanyak 595 orang, karyawan kontrak 22 orang, dan pekerja outsourcing (alih daya) 3 orang.

Juru Bicara Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR) Sarinah mengungkapkan alasan PHK tersebut lantaran perusahaan menilai para buruh melakukan mogok kerja secara tidak sah. Aksi tersebut dilakukan pada 21-28 Februari 2020 lalu.

“Mereka menganggap (mogok) kami tidak sah karena tidak ada risalah perundingan yang menyatakan deadlock (jalan buntu). Tetapi, menurut kami selama ini perusahaan keliru menginterpretasikan frasa ‘mengalami jalan buntu’,” katanya, Kamis (6/3).

Untuk diketahui, perihal mogok kerja diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 232 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah. Pasal 2 menyebutkan mogok kerja merupakan hak dasar buruh yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Pasal selanjutnya menyebutkan mogok kerja tidak sah apabila bukan akibat gagalnya perundingan. Kemudian, pasal 4 menjelaskan ketentuan gagalnya perundingan, yakni tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial karena beberapa penyebab.

Pertama, pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun pekerja telah meminta secara tertulis kepada pengusaha 2 kali dalam tenggang waktu 14 hari kerja. Kedua, perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh para pihak dalam risalah perundingan.

Sarinah menjelaskan pihak buruh dan manajemen AICE telah mengadakan perundingan enam kali, salah satunya difasilitasi oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Lima perundingan tersebut tidak pernah menemui kesepakatan, tetapi berhasil menghasilkan lima risalah perundingan.

Sayangnya, tak ada satu risalah pun yang berisikan frasa ‘mengalami jalan buntu’ sebagaimana disyaratkan dalam aturan. Ia bilang yang tercantum hanyalah pernyataan ‘tidak ada kesepakatan’.

Fakta tidak tertulis frasa ‘mengalami jalan buntu’ disebut Sarinah sebagai alasan perusahaan yang berbasis di Singapura itu mengklaim mogok buruh tidak sah. Namun, Sarinah mengatakan justru perusahaan sendiri yang bersikeras tidak mau menulis frasa ‘mengalami jalan buntu’.

“Itu sudah biasa, pengusaha pada umumnya tidak mau menulis buntu. Mereka selalu bersedia berunding, bahkan bisa sampai puluhan kali tapi tidak mau bikin risalah ada kata ‘buntu’ atau ‘deadlock’,” jelasnya.

Menurutnya, tafsir ‘mengalami jalan buntu’ dalam aturan tersebut tak mengartikan wajib tertera tulisan ‘mengalami jalan buntu’ dalam risalah perundingan. Namun, lebih kepada kondisi tak terjadi kesepakatan antara pekerja dan perusahaan.

“Menurut kami tafsiran ‘mengalami jalan buntu’ ini bukan tafsiran harus ditulis mengalami jalan buntu, tetapi kondisinya,” katanya.

Ia menyatakan serikat pekerja akan menempuh upaya non litigasi (di luar pengadilan) guna menuntut hak mereka. Bersama buruh lainnya, ia mengaku akan terus menyerukan kampanye boikot AICE. Mereka juga telah meminta bantuan dari serikat buruh dari negara tetangga, Filipina.

“Kami tidak mau pesangon, kami maunya bekerja kembali dengan kondisi kerja yang sesuai dengan undang -undang,” imbuh dia.

Untuk diketahui, selisih hubungan industrial antara perusahaan dan buruh sudah berlangsung sejak 2017. Perselisihan keduanya bahkan sempat menjadi buah bibir di media sosial.

Buruh mempersoalkan berbagai kondisi kerja yang dirasa tak ideal dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Mulai dari penurunan upah, pekerja kesulitan mengambil cuti, perempuan hamil bekerja hingga malam hari, bonus dibayarkan dengan cek kosong, pelanggaran hak buruh kontrak, dan lainnya.

Menanggapi keluhan tersebut, Legal Corporate Alpen Food Industry Simon Audry Halomoan mengklaim pihaknya telah melakukan PHK sesuai dengan prosedur yang berlaku. Ia mengacu pada pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 232 Tahun 2003.

Pada pasal 6 ayat 1 menyebut mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah dikualifikasikan sebagai mangkir. Ini berbanding terbalik dengan klaim buruh yang menyatakan mogok mereka dilakukan secara sah.

Lebih lanjut, pasal 6 ayat 2 menyebutkan pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok secara tidak sah dilakukan oleh pengusaha 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis.

Lalu, pasal 6 ayat 3 mengatakan pekerja yang tidak memenuhi panggilan tersebut, maka dianggap mengundurkan diri. “Kami dalam hal PHK selalu mengikuti prosedur yang berlaku,” katanya.

Berdasarkan surat PHK karyawan yang diterima CNNIndonesia.com, tertulis jika perusahaan telah berupaya memanggil buruh untuk kembali melalui surat tertulis pada 21 dan 25 Februari 2020. Namun, Sarinah mengklaim belum semua buruh korban PHK mendapat suratnya.

Dalam surat PHK tersebut juga diberitahukan bahwa tindakan buruh dikualifikasikan sebagai mangkir karena tetap menjalankan aksi mogok pada tanggal pemanggilan kerja. Karenanya, buruh dianggap mengundurkan diri dari perusahaan. Alpen Food Industry menyatakan hubungan kerja dengan buruh berakhir sejak 29 Februari 2020.

“Bagi kami, mogok kerja yang dilakukan SGBBI (Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia Alpen Food Industry) dikualifikasikan sebagai mogok kerja tidak sah,” tandas Simon.

 

 

 

 

 

Sumber : cnnindonesi.com
Gambar : Suara.com

 

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *