Menkeu Sebut Peserta BPJS yang Ikut Saat Sakit Picu Defisit

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan keberadaan peserta BPJS Kesehatan ‘sakit’ yang hanya ikut program saat butuh perawatan juga turut memberi sumbangan ke pelebaran defisit keuangan pelaksana Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut. Peserta jenis ini biasanya hanya membayar iuran ketika sakit dan membutuhkan jaminan biaya kesehatan.

Namun, begitu sehat, mereka tidak lagi membayar iuran kepesertaan BPJS Kesehatan. Keberadaan peserta tersebut diungkapkan Sri Mulyani dalam rapat bersama Komisi XI DPR di Gedung DPR/MPR pada Rabu (21/8).

Bendahara negara mengungkap hal ini berdasarkan hasil temuan dan audit yang telah dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Ada peserta yang bukan penerima upah, hanya mendaftar pada saat sakit. Tingkat kepesertaan mereka rendah, tapi menggunakan manfaatnya tinggi,” ujar Sri Mulyani.

Bahkan, menurutnya, ada kalangan peserta yang sebenarnya sudah jelas-jelas tidak aktif lagi, namun begitu menggunakan kartu BPJS Kesehatan, rupanya masih bisa mendapatkan klaim. Walhasil, ada biaya layanan kesehatan yang ditanggung perusahaan, padahal peserta sudah tidak aktif.

“Untuk permasalahan manajemen klaim ini berhubungan dengan sistem BPJS Kesehatan. Klaim peserta yang sudah meninggal misalnya, ada peserta tidak aktif, klaimnya bisa masuk. BPJS Kesehatan berargumen tidak mungkin, tapi BPKP temukan,” terangnya.

Sri Mulyani pun meminta perusahaan peralihan PT Asuransi Kesehatan alias Askes bisa segera membenahi sistem administrasi dan melakukan pengawasan yang lebih ketat. Sebab, data tingkat kepesertaan perusahaan secara jelas menyatakan bahwa tingkatnya hanya mencapai 53,7 persen pada kuartal II 2019.

“BPJS janji kinerja mereka harus angkanya ke 60 persen, ini sudah beberapa tahun. Paling tidak, selama saya jadi menteri keuangan belum juga mencapai 60 persen,” sindirnya.

Di sisi lain, mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu pun juga melihat ada sumbangan defisit dari tarif iuran kepesertaan yang sudah tak sesuai. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak menaikkan tarif iuran pada tahun lalu.

Padahal, aturan negara memperbolehkan penyesuaian tarif iuran dalam kurun waktu dua tahun. Sementara penyesuaian tarif iuran terakhir kali dilakukan pada 2016 lalu.

Kala itu, tarif iuran kelas Penerima Bantuan Iuran (PBI) menjadi Rp21.500 per peserta per bulan, Mandiri III Rp23 ribu, Mandiri II Rp51 ribu, dan Mandiri I Rp80 ribu.

“Iuran tidak mencerminkan manfaat dan risiko yang seimbang, jadi iuran terlalu kecil, manfaatnya terlalu banyak dan risikonya terlalu tinggi,” jelasnya.

Atas berbagai temuan ini, Sri Mulyani menekankan bahwa pemerintah akan segera melakukan evaluasi terhadap semua aspek temuan BPKP. Namun tak hanya pemerintah, ia juga meminta BPJS Kesehatan turut melakukan perubahan dan perbaikan sistem manajemen.

Menurutnya, persoalan defisit keuangan perusahaan tidak akan pernah selesai bila hanya mengandalkan uluran tangan dari kas negara. Apalagi, defisit keuangan perusahaan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Berdasarkan catatan Sri Mulyani, total defisit keuangan perusahaan mencapai Rp51,2 triliun pada 2014-2018. Dari jumlah itu, pemerintah mengucurkan Rp25,3 triliun untuk menutup kebolongan anggaran.

Bahkan, pemerintah turut memberi aliran dana Rp140,1 triliun pada 2014-2018 dalam bentuk pembayaran iuran bagi peserta yang mendapat tanggungan pemerintah. Sementara tahun ini, defisit perusahaan diperkirakan akan menembus Rp28,5 triliun.

 

 

 

 

Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : merdeka.com

 

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,T
witter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *