Minyak Tertekan Pelemahan Ekonomi dan Penguatan Dolar AS

Harga minyak mentah dunia melemah sepanjang pekan lalu. Pelemahan dipicu oleh kekhawatiran pasar terhadap penurunan permintaan minyak global. Selain itu, dolar AS yang secara mingguan mencatat penguatan terbaik selama enam bulan terakhir juga turut menekan harga minyak dunia.

Dilansir dari Reuters, Senin (11/2), harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) secara mingguan melemah lebih dari 4 persen menjadi US$52,72 per barel. Pelemahan tersebut merupakan yang tercuram sejak awal tahun.

Harga minyak mentah berjangka Brent juga melemah lebih dari 1 persen menjadi US$62,02 per barel. Kurs dolar AS menguat 1,1 persen melawan sekeranjang mata uang negara-negara di dunia.

Penguatan tersebut merupakan yang terbaik sejak Agustus 2018. Sebagai catatatan, penguatan dolar AS membuat harga minyak mentah dan komoditas lain yang diperdagangkan dengan dolar AS menjadi relatif lebih mahal.

Semantara itu, pada Jumat (8/2) lalu, pasar minyak mendapatkan dorongan dari pemberitaan terkait AS dan China kemungkinan masih bisa memenuhi batas waktu 1 Maret 2019 untuk menyelesaikan sengketa perdagangan antara keduanya.

Pada Jumat (8/2) lalu, Gedung Putih menyatakan Perwakilan Perdagangan AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin akan pergi ke Beijing pekan depan untuk menggelar pertemuan pokok.

Rencana tersebut meredakan kekhawatiran pasar terhadap tenggat waktu yang tidak dapat dipenuhi sehingga menyebabkan pengenaan tarif yang lebih tinggi terhadap sejumlah barang.

“(Sengketa) AS-China merupakan faktor utama namun hal itu juga didukung oleh buruknya sejumlah data ekonomi sepanjang pekan yang kita peroleh dari Eropa,” ujar Partner Again Capital Management John Kilduff di New York.

Menurut Kilduff, hal tersebut menunjukkan perlambatan laju ekonomi global yang akan datang.

Pada Kamis (7/2) lalu, Komisi Eropa memangkas tajam proyeksi pertumbuhan ekonomi Uni Eropa akibat tensi perdagangan global dan sejumlah tantangan domestik lainnya.

Secara terpisah, pembuat kebijakan AS mengajukan rancangan undang-undang (RUU) tentang Larangan Kartel Produksi dan Ekspor Minyak (No Oil Producing and Exporting Cartels Act/NOPEC) di parlemen AS. Kemungkinan RUU tersebut disahkan saat ini lebih besar dibandingkan beberapa tahun lalu. Kebijakan tersebut dapat menyasar Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) atas tindakan persaingan usaha tidak sehat.

Industri minyak melawan rencana penerbitan uu tersebut. Namun, Presiden AS Donald Trump telah menyampaikan dukungannya terhadap kebijakan seperti itu pada masa lalu. Pegawai senior pemerintah AS menyatakan negaranya tidak mendukung perilaku yang mendistorsi pasar, termasuk kartel.

Sementara itu, perusahaan layanan energi Baker Hughes mencatat perusahaan AS menambah jumlah rig minyak untuk pekan kedua dalam tiga pekan terakhir.

Kemudian, pada Jumat lalu, perusahaan minyak Libya Nation Oil Corp menyatakan lapangan minyak terbesarnya masih tetap berhenti beroperasi hingga keamanan bisa dikembalikan. Sebagai catatan, lapangan minyak tersebut telah berhenti beroperasi sejak Desember 2018 lalu.

 

 

 

 

 

 

 

Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : Serambi Indonesia – Tribunnews.com

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *