Sentimen AS-China, Harga Minyak Kokoh pada Pekan Pertama 2019

Harga minyak mentah dunia menguat sepanjang pekan lalu, salah satunya dipicu oleh rencana pembahasan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China. Hal itu dinilai dapat meredakan perang dagang sekaligus kekhawatiran atas perlambatan ekonomi global.

Dilansir dari Reuters, Senin (7/1), harga minyak mentah berjangka Brent menguat 9,3 persen menjadi US$57,06 per barel secara mingguan. Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar 5,8 persen menjadi US$47,96 per barel.

Kenaikan kedua harga acuan pada pekan pertama 2019 cukup solid, mengingat kedua harga acuan merosot tajam tahun lalu. Kenaikan harga juga terjadi di tengah kekhawatiran terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi global.

Harga minyak mendapat dorongan dari komentar Kementerian Perdagangan China yang menyatakan Beijing akan menggelar pembicaraan tingkat wakil menteri dengan AS pada 7-8 Januari 2019. Pemberitaan terkait hal itu mendongkrak sentimen di aset-aset yang lebih berisiko di pasar saham AS dan pasar minyak dunia.

China dan AS telah terjebak dalam perang dagang sepanjang tahun lalu. Kondisi itu mengganggu aliran barang senilai ratusan miliar dolar dan menahan laju pertumbuhan ekonomi.

Di China, survei lembaga swasta menunjukkan sektor jasa mengalami ekspansi pada Desember 2018. Kondisi itu berlawanan dengan tren penurunan data ekonomi.

“Data China baru-baru ini tidak mengkonfirmasi tren yang suram,” ujar Analis perminyakan Petromatrix Olivier Jakob.

Selain itu, lanjut Jakob, pasar juga memiliki Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang telah menjalankan kebijakan pemangkasan produksi.

Laporan sektor ketenagakerjaan AS yang cukup baik juga membantu membangkitkan optimisme pasar. Di sisi lain, kenaikan harga minyak dibatasi oleh persediaan produk minyak AS yang meningkat.

Pada Jumat (4/1) lalu, Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) mencatat kenaikan stok produk minyak AS seiring meningkatkan tingkat utilisasi kilang menjadi 97,2 persen dari total kapasitas, tertinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun-tahun sebelumnya.

Stok bensin naik 6,9 juta barel pada pekan terakhir Desember 2018. Sementara itu, stok minyak distilasi naik 9,5 juta barel. Padahal, para analis memperkirakan kenaikan stok haya di bawah 2 juta barel.

“Pasokan bensin untuk kelas musim dingin dapat mendekati level yang memberatkan jika operasional Gulf Coast tetap menanjak mendekati level optimal,” ujar Presiden Ritterbusch and Associates Jim Ritterbusch dalam catatannya.

Pekan lalu, perusahaan minyak AS memangkas jumlah rig untuk pertama kalinya dalam tiga pekan terakhir. Perusahaan layanan energi Baker Hughes mencatat sebanyak 8 rig dipangkas sehingga total rig menjadi 877. Sebagai catatan, jumlah rig merupakan indikator untuk produksi ke depan.

Meski ada kekhawatiran dari sisi permintaan, minyak telah mendapatkan dorongan dari kebijakan pemangkasan produksi OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia.

Pada Desember lalu, OPEC, Rusia, dan sejumlah negara lain sepakat untuk memangkas produksi sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) pada tahun ini. Sebanyak 800 ribu bph di antaranya merupakan porsi OPEC. Berdasarkan survei Reuters pada Kamis lalu, pasokan OPEC telah turun 460 ribu bph pada Desember.

Saat ini, perhatian terpusat pada komitmen produsen untuk melakukan pemangkasan sesuai kesepakatan. Pada Jumat lalu, Irak telah menegaskan komitmennya untuk menjalankan kesepakatan dan akan menjaga produksi minyaknya di level 4,513 juta barel per hari (bph) pada Semester I 2019.

 

 

 

 

 

 

Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : Netralnews.com

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *