Ekonomi AS Tumbuh 3,5%, Kadin: Waspadai Capital Outflow

Ekonomi Amerika Serikat (AS) tumbuh lebih cepat dari ekspektasi pasar di kuartal III tahun ini, berdasarkan rilis data dari Departemen Perdagangan AS.

Produk Domestik Bruto (PDB) AS tumbuh 3,5% secara kuartalan (annualized) pada periode Juli-September 2018. Capaian itu mampu mengungguli konsensus Dow Jones yang mengekspektasikan pertumbuhan sebesar 3,4%.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Hubungan Internasional, Shinta Kamdani tidak begitu terkejut akan rilis ini. Menurutnya, sejak kuartal III kemarin Federal Reserve of Atlanta sudah memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS akan mencapai 4% pada akhir tahun.

Proyeksi ini didorong beberapa faktor: penurunan pajak pendapatan perusahaan di AS, kebijakan trade war dengan China yang tidak disertai dengan pembukaan pasar impor AS yang lebih luas serta bantuan pemerintah AS untuk sektor industri tertentu yang terkena dampak negatif trade war, khususnya sektor pertanian yang perdagangannya diblok oleh China.

“Karena faktor-faktor tersebut, tentu saja growth di AS menjadi tinggi lebih dari biasanya. Dan karena growth di AS yang tinggi, global capital investor jadi sangat tertarik untuk berinvestasi di AS. Karena itu saat ini kita melihat banyak capital outflow dari negara berkembang ke negara maju, khususnya AS,” kata Shinta kepada CNBC Indonesia, Sabtu (27/10/2018).

“Kita perlu ingat bahwa negara maju saat ini juga cenderung melakukan peningkatan iklim dan promosi investasi untuk meminimalisir efek capital outflow dari negaranya,” imbuhnya.

Hal ini menurut Shinta harus menjadi concern negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Tingginya growth di AS menunjukkan bahwa saat ini Indonesia dan negara berkembang lainnya tidak hanya berkompetisi dengan sesama negara berkembang untuk menarik investasi global, tetapi juga bersaing dengan negara-negara maju seperti AS.

Shinta lantas memberikan ilustrasi: seorang investor memiliki dana US$ 1 miliar dan dia dapat menanamkan modalnya di mana saja di dunia dengan asumsi bahwa return of investment dalam satu tahun akan sama dengan pertumbuhan ekonomi negara tersebut.

Tentunya, investor itu akan memilih berinvestasi di AS daripada di negara berkembang, meskipun pertumbuhannya sedikit lebih tinggi, misalnya 5% seperti proyeksi Indonesia. Hal ini disebabkan adanya biaya akibat konversi mata uang dan rupiah sedang melemah terhadap dolar AS.

“Oleh karena itu, walaupun growth kita secara angka lebih tinggi dari AS, pada kenyataannya competitiveness return kita lebih rendah dari AS. Inilah kondisi yang memicu capital outflow dan krisis di negara-negara berkembang saat ini,” jelas CEO sekaligus pemilik Sintesa Group ini.

Shinta mengingatkan Indonesia perlu lebih meningkatkan iklim investasi dan bisnis di dalam negeri untuk menahan arus capital outflow.

“Di sisi investasi, kita tidak dapat memaksa investor untuk stay di Indonesia bila kondisinya Indonesia tidak profitable. Karena itu, perbaikan iklim usaha dari segi regulasi DNI dan regulasi seputar kepastian berusaha sangat urgent untuk ditingkatkan,” tegasnya.

Menurutnya, selama ini rekam jejak Indonesia di mata investor masih jelek karena kendala regulatory environment yang masih suka berubah-ubah. Ini membuat investor sangat kalkulatif untuk berinvestasi di Indonesia meskipun investment grade RI sudah meningkat.

Di samping itu, pemerintah juga perlu meningkatkan produktivitas industri dalam negeri, terutama untuk subtitusi impor dan untuk memperlancar ekspor.

Ini dilakukan bukan dengan pengetatan impor tetapi lebih dengan cara meng-empower perusahaan-perusahaan lokal yang tidak lagi kompetitif karena berbagai hal, seperti teknologi produksi yang sudah out of date, kendala regulasi yang sering tumpang tindih dan membebani kelancaran berusaha, kendala regulasi untuk memperlancar ekspor, dan lain-lain.

“Semua hal ini sangat urgent untuk dilakukan agar ekonomi kita stabil dan tetap flourishing meskipun situasi global tidak berpihak pada kita,” tambahnya.

Mengingat bahwa faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan ekonomi AS ini akan terus ada hingga akhir pemerintahan Trump, perjuangan Indonesia untuk mempertahankan kondisi ekonomi Indonesia saat ini menurut Shinta masih sangat panjang dan tidak bisa hanya dilakukan dengan program yang ada sekarang.

“Terlebih karena konsumsi impor terbesar kita ada di BBM dan subsidi terhadap produk tersebut di dalam negeri juga membebani anggaran pemerintah,” ujarnya.

“Jadi, apabila kita tidak bergerak cepat untuk mengubah tatanan regulasi yang ada untuk menarik investasi dan meningkatkan produktifitas industri dalam negeri, kita akan sangat kewalahan ke depannya,” tegasnya

 

 

 

 

Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : SINDOnews

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *